Seperti yang kita ketahui, di Indonesia banyak
dari mereka (mayoritas) sebagian besar masih berorientasi bahwa kaum minoritas
adalah suatu penyimpangan sosial yang dipandang sebelah mata karena minoritas
itu sendiri memang susah untuk diterima oleh para mayoritas yang kontra
revolusioner dengan adanya orientasi seksual diluar dari heteroseksual itu
sendiri. Tidak menutup kemungkinan bahwa sebenarnya di Indoneisa ada banyak
minoritas diluar sana yang tidak mau mengakui orientasi seks mereka karena
takut dan malu akan pandangan yang diberikan oleh para mayoritas. Sehingga
minoritas lebih baik menyembunyikan orientasi seks mereka ketimbang harus
dilihat dari sudut pandang yang berbeda.
Jika
dilihat dari pengertiannya, orientasi seksual adalah pola ketertarikan seksual
emosional, romantis, dan/atau seksual terhadap laki-laki, perempuan, keduanya,
tak satupun, atau jenis kelamin lain. American Psychological Association
menyebutkan bahwa istilah ini juga merujuk pada perasaan seseorang terhadap
“identitas pribadi dan social berdasarkan ketertarikan itu, perilaku
pengungkapannya, dan keanggotaan pada komunitas yang sama.” Orientasi seksual
biasanya dikelompokkan menurut gender atau jenis kelamin yang dianggap menarik
oleh seseorang, yaitu heteroseksual, homoseksual, dan biseksual. Kaum minoritas
yang dibahas disini adalah mereka yang memiliki orientasi seksual seperti
homoseksual/penyuka sesame jenis.
Homoseksual
tidak ada kaitannya dengan istilah “Banci atau Waria” bahkan keduanya memiliki
perbedaan yang sangat jelas, dimana homoseksual adalah seorang pria yang
menyukai sesama jenis namun mereka tidak ingin merubah gender mereka, walaupun
terkadang banyak yang berperilaku feminine dan homoseksual itu bukan pilihan
melainkan homoseks adalah suatu keadaan yang dimana orientasi itu muncul dengan
sendirinya karena adanya faktor-faktor yang mempengaruhi. Pelaku homoseks pure menjadi diri mereka sendiri namun
dengan memiliki orientasi yang berbeda yaitu homoseks itu tadi. Sedangkan waria
adalah sebuah pilihan yang dimana mereka memilih untuk menjadi seorang wanita
dengan memaksakan mengenakan pakaian wanita, bertingkah laku seperti wanita,
dan ingin dipandang selayaknya wanita tulen. Tidak heran kalau banyak dari
mereka berkeinginan merubah/mengoperasi gender mereka menjadi seorang wanita.
Dalam
kasus ini, seseorang yang memiliki orientasi homoseksual bukan karena mereka
memilih ingin menjadi pelaku tersebut. Ini lebih kepada banyak faktor yang
mempengaruhi dimana mereka tidak bisa menghindari faktor tersebut atau bahkan
mereka tidak tahu kalau mereka telah terpengaruh dari faktor-faktor yang ada,
seperti adanya faktor lingkungan dan keluarga yang dimana seseorang bisa
cenderung mengarah kepada homoseks. Sebagai contoh, ada seorang anak pria yang
semasa kecilnya ia susah sekali berteman dengan teman sesama jenisnya dan ia
lebih sering bersama para teman wanitanya, sehingga tak jarang ia diolok-olok
oleh teman sesama jenisnya dan pada saat ia berada di lingkup keluarga, ia juga
merasa kurang mendapatkan perhatian dari kedua orang tua. Dengan begitu para
pelaku homoseks berpikiran bahwa wanita hanyalah sebatas teman dan pelaku juga
tidak memiliki nafsu terhadap lawan jenis sehingga ketika ia didekati dengan
sesama jenisnya, muncullah nafsu berlebih yang mendorong seseorang itu menjadi
homoseks.
Meski dalam semua ajaran agama tidak diperbolehkan menyukai apalagi berhubungan
sesama jenis, apakah semua penganut agama/umatnya benar-benar tidak ada yang
melakukan seperti itu? Tentu tidak. Namun dalam semua ajaran agama pasti
mengajarkan untuk saling bertoleransi dan tidak memandang orang berdasarkan
dari ras, suku, agama, kebudayaan, dan kepribadian seseorang. Lantas mengapa
mereka masih termasuk dalam kaum minoritas? Itu semua kembali lagi kepada pola
berpikir kita yang open-minded atau malah sebaliknya. Kebanyakan
orang-orang yang memiliki pola pikir sempit inilah yang membuat para minoritas
semakin dipandang buruk oleh masyarakat banyak dan jauh dari kata penyetaraan
hak yang diinginkan oleh minoritas. Padahal tidak semua dari “mereka” memiliki
orientasi yang buruk seperti yang dipikirkan mayoritas. Jika kita semua bisa
merangkul satu sama lain dan memiliki pandangan yang sama terhadap “mereka”,
kita bisa saja bertukar pikiran secara positif mengenai suatu tujuan yang akan
dicapai bersama. Tidak sedikit dari kaum minoritas yang memiliki kelebihan atau
prestasi yang bisa kita andalkan dari mereka. Jadi, untuk apa kita memandang
sebelah mata kalau dengan keduanya bisa tampak lebih baik?
Tidak ada komentar:
Posting Komentar