Sabtu, 17 Oktober 2015

Rangkul "Mereka"

Tema: Pelapisan Sosial dan Kesamaan Derajat


           Seperti yang kita ketahui, di Indonesia banyak dari mereka (mayoritas) sebagian besar masih berorientasi bahwa kaum minoritas adalah suatu penyimpangan sosial yang dipandang sebelah mata karena minoritas itu sendiri memang susah untuk diterima oleh para mayoritas yang kontra revolusioner dengan adanya orientasi seksual diluar dari heteroseksual itu sendiri. Tidak menutup kemungkinan bahwa sebenarnya di Indoneisa ada banyak minoritas diluar sana yang tidak mau mengakui orientasi seks mereka karena takut dan malu akan pandangan yang diberikan oleh para mayoritas. Sehingga minoritas lebih baik menyembunyikan orientasi seks mereka ketimbang harus dilihat dari sudut pandang yang berbeda.



            Jika dilihat dari pengertiannya, orientasi seksual adalah pola ketertarikan seksual emosional, romantis, dan/atau seksual terhadap laki-laki, perempuan, keduanya, tak satupun, atau jenis kelamin lain. American Psychological Association menyebutkan bahwa istilah ini juga merujuk pada perasaan seseorang terhadap “identitas pribadi dan social berdasarkan ketertarikan itu, perilaku pengungkapannya, dan keanggotaan pada komunitas yang sama.” Orientasi seksual biasanya dikelompokkan menurut gender atau jenis kelamin yang dianggap menarik oleh seseorang, yaitu heteroseksual, homoseksual, dan biseksual. Kaum minoritas yang dibahas disini adalah mereka yang memiliki orientasi seksual seperti homoseksual/penyuka sesame jenis.
            Homoseksual tidak ada kaitannya dengan istilah “Banci atau Waria” bahkan keduanya memiliki perbedaan yang sangat jelas, dimana homoseksual adalah seorang pria yang menyukai sesama jenis namun mereka tidak ingin merubah gender mereka, walaupun terkadang banyak yang berperilaku feminine dan homoseksual itu bukan pilihan melainkan homoseks adalah suatu keadaan yang dimana orientasi itu muncul dengan sendirinya karena adanya faktor-faktor yang mempengaruhi. Pelaku homoseks pure menjadi diri mereka sendiri namun dengan memiliki orientasi yang berbeda yaitu homoseks itu tadi. Sedangkan waria adalah sebuah pilihan yang dimana mereka memilih untuk menjadi seorang wanita dengan memaksakan mengenakan pakaian wanita, bertingkah laku seperti wanita, dan ingin dipandang selayaknya wanita tulen. Tidak heran kalau banyak dari mereka berkeinginan merubah/mengoperasi gender mereka menjadi seorang wanita.

          Dalam kasus ini, seseorang yang memiliki orientasi homoseksual bukan karena mereka memilih ingin menjadi pelaku tersebut. Ini lebih kepada banyak faktor yang mempengaruhi dimana mereka tidak bisa menghindari faktor tersebut atau bahkan mereka tidak tahu kalau mereka telah terpengaruh dari faktor-faktor yang ada, seperti adanya faktor lingkungan dan keluarga yang dimana seseorang bisa cenderung mengarah kepada homoseks. Sebagai contoh, ada seorang anak pria yang semasa kecilnya ia susah sekali berteman dengan teman sesama jenisnya dan ia lebih sering bersama para teman wanitanya, sehingga tak jarang ia diolok-olok oleh teman sesama jenisnya dan pada saat ia berada di lingkup keluarga, ia juga merasa kurang mendapatkan perhatian dari kedua orang tua. Dengan begitu para pelaku homoseks berpikiran bahwa wanita hanyalah sebatas teman dan pelaku juga tidak memiliki nafsu terhadap lawan jenis sehingga ketika ia didekati dengan sesama jenisnya, muncullah nafsu berlebih yang mendorong seseorang itu menjadi homoseks.
            Meski dalam semua ajaran agama tidak diperbolehkan menyukai apalagi berhubungan sesama jenis, apakah semua penganut agama/umatnya benar-benar tidak ada yang melakukan seperti itu? Tentu tidak. Namun dalam semua ajaran agama pasti mengajarkan untuk saling bertoleransi dan tidak memandang orang berdasarkan dari ras, suku, agama, kebudayaan, dan kepribadian seseorang. Lantas mengapa mereka masih termasuk dalam kaum minoritas? Itu semua kembali lagi kepada pola berpikir kita yang open-minded atau malah sebaliknya. Kebanyakan orang-orang yang memiliki pola pikir sempit inilah yang membuat para minoritas semakin dipandang buruk oleh masyarakat banyak dan jauh dari kata penyetaraan hak yang diinginkan oleh minoritas. Padahal tidak semua dari “mereka” memiliki orientasi yang buruk seperti yang dipikirkan mayoritas. Jika kita semua bisa merangkul satu sama lain dan memiliki pandangan yang sama terhadap “mereka”, kita bisa saja bertukar pikiran secara positif mengenai suatu tujuan yang akan dicapai bersama. Tidak sedikit dari kaum minoritas yang memiliki kelebihan atau prestasi yang bisa kita andalkan dari mereka. Jadi, untuk apa kita memandang sebelah mata kalau dengan keduanya bisa tampak lebih baik?


Tidak ada komentar:

Posting Komentar